Senin, 11 April 2011

Pemerkosaan Kerusuhan Mei 1998

Perkosaan Brutal Untuk Kepentingan Politik JAKARTA

- Sadis, kejam, brutal! Itulah ungkapan bagi perbuatan para perusuh yang pemerkosa wanita-wanita WNI keturunan Tionghoa pada kerusuhan 13-14 Mei lalu.
Akibat perbuatan sadis tersebut, para wanita korban perkosaan mengalami gangguan psikis yang sangat parah. Di samping derita fisik yang masih memerlukan perawatan.
Bahkan, di antara para korban yang tidak sanggup menanggung derita psikis, ada yang nekat mengakhiri hidupnya.
Menurut Ita F. Nadia, koordinator Kalyanamitra, salah satu divisi Tim Relawan yang menangani masalah kekerasan terhadap perempuan, saat ini di antara korban ada yang tinggal di luar negeri, biara, luar pulau Jawa, rumah yang dianggap aman dari intimidasi, klinik dan di rumah sakit jiwa.
Dari hasil verifikasi dan investigasi Kalyanamitra, peristiwa sadis itu mulai terjadi pukul 16.00 WIB pada 13-14 Mei lalu.
Lokasi kejadian di ruko yang pemiliknya WNI keturunan Tionghoa di beberapa jalan besar Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
Perkosaan dilakukan oleh 3-7 pria berbadan kekar, sangar secara bergantian, dan serentak di berbagai ruko.
Ketika itu pukul 16.00 WIB, tiga gadis bersaudara tinggal di sebuah ruko berlantai tiga, di tepi jalan besar kawasan Jakarta Barat.
Ketiganya merasa takut ketika tujuh pria masuk ke ruko dan mengobrak-abrik seluruh isi toko. Dalam keadaan panik dan takut, ketiganya lari ke lantai III untuk bersembunyi.
Namun, para perusuh mengejar ketiganya dan memerintahkan mereka telanjang. Mereka tidak memperkosa wanita yang sulung karena dianggap sudah terlalu tua, maka adiknya yang berumur 18 tahun dan 20 tahun diperkosa secara bergantian oleh empat dari tujuh pria itu di hadapan mata kakaknya.
Usai memperkosa, di antara perusuh turun ke lantai I membakar toko. Namun, karena kedua gadis bersaudara itu berteriak histeris saat diperkosa, pria yang masih berada di lantai III mendorong kedua gadis tersebut ke dalam kobaran api di lantai I.
Tragisnya, kedua gadis yang malang itu tewas terpanggang api bersama seluruh isi toko. Sedangkan kakak korban yang dalam keadaan telanjang diselamatkan oleh tetangganya setelah para perusuh meninggalkan ruko.
“Korban itu selalu menelepon saya, tapi belum pernah bertemu. Karena, komunitasnya takut intimidasi itu terulang kembali. Ia sangat tidak percaya lagi kepada pribumi,” tutur Ita.
Dipukuli
Penderitaan akibat tindakan sadis para perusuh bukan hanya dialami wanita WNI keturunan Tionghoa yang tinggal di ruko.
Seorang wanita yang sore itu pulang dari kantor dengan menumpang taksi di kawasan Cengkareng dicegat oleh 10 pria.
Mereka memerintahkan si wanita ke luar dari taksi. Dalam keadaan takut, wanita itu ditelanjangi dan sekujur badannya dipukuli.
Akibatnya, tubuh wanita ini penuh dengan luka-luka, terutama di bagian dada. Dalam keadaan terluka, seorang haji menolongnya dengan memberikan jilbab untuk menutupi tubuh korban, dan diantar ke rumah korban.
Para perusuh pun memperkosa wanita yang sudah bersuami. Seorang ibu yang sedang menyusui anaknya ketika kerusuhan itu terjadi, tidak luput dari serangan.
Tokonya diserang dan sang ibu diperkosa oleh tiga lelaki, sedangkan suaminya luka parah dipukuli para perusuh. Akibatnya, wanita ini mengalami stres luar biasa.
Tidak itu saja, di Jakarta Barat, menurut pengakuan wanita korban yang saat ini berada di Hong Kong, anak gadisnya berumur 16 tahun diperkosa dan vaginanya dirobek.
Saat ini gadis tersebut dalam tahap penyembuhan, dan dari segi mentalnya sudah sangat parah. Walau anak itu hidup, namun si ibu seakan-akan sudah kehilangan anaknya sebagai manusia.
Dalam kerusuhan itu bukan hanya anak gadis saja yang jadi korban, tapi juga keluarga dan usaha mereka sudah hancur.
Seorang korban perkosaan yang stres berat selalu berteriak akan bunuh diri kepada orangtuanya. Akhirnya, ayah korban yang menyaksikan sendiri anaknya diperkosa para perusuh ini juga mengalami goncangan jiwa. Karena, anak gadisnya selalu meneriakkan ingin bunuh diri.
Akhirnya, dalam keadaan stres berat sang ayah memberikan anak gadisnya racun serangga, dan anak itu akhirnya bunuh diri.
Korban lainnya, seorang anak berumur 10 tahun. Karena tidak kuat, ibu anak itu yang juga diperkosa perusuh akhirnya bunuh diri. Sedangkan ayahnya dibakar oleh perusuh.
Korban perkosaan lainnya yang ditangani Kalyanamitra, seorang wanita berusia sekitar 25 tahun. Korban ingin melupakan masa lalunya dengan cara tidak menggunakan bahasa Indonesia.
Ia kini selalu berbahasa Mandarin, dan tidak mau memakai baju-bajunya yang dulu.
Para korban dan keluarganya saat ini berada di Singapura, Taiwan, Hong Kong, Cina, di luar pulau Jawa, biara dan rumah yang dianggap aman.
Korbam umumnya belum bisa dimintai keterangan, karena mengalami goncangan jiwa yang sangat parah.
Telah Direncanakan
Disebutkan, korban perkosaan yang sudah ditangani dokter ada sekitar 20 orang di sebuah rumah sakit (RS) jiwa, dan ada tiga orang di klinik jiwa yang masih banyak belum terjangkau.
Korban yang mengungkapkan perasaan dan kejadian sadis lewat telepon ada lima orang, yang berada di rumah yang aman tiga orang dengan kondisi yang sangat parah. Sedangkan enam korban perkosaan di Jakarta Barat kini berada di luar negeri.
Menurut Ita, perkosaan yang dilakukan 3-7 orang itu, merupakan suatu tindakan sadis yang telah direncanakan untuk menghancurkan WNI keturunan Tionghoa untuk kepentingan politik. Karena, kekejaman itu dilakukan secara serentak di suatu wilayah yang disertai dengan pembakaran.
Sedangkan perempuan dijadikan korban, karena perempuan di Indonesia dianggap sebagai properti atau sebagai benda milik keluarga.
Sehingga, perempuan di Indonesia ini dinilai tidak punya hak apa-apa, karena ia hanya sebagai properti keluarga. Karena itu, pemerkosaan brutal yang dilakukan perusuh; untuk membangun rasa ketakutan masyarakat dengan mengorbankan wanita WNI keturunan Tionghoa.
Dirancang
“Biasanya hal seperti itu dilakukan di suatu negara yang sedang mengalami konflik. Ini tidak mungkin dilakukan orang biasa, karena orang biasa itu tidak mampu melakukan. Ini suatu teror yang sudah direncanakan dan ada pihak-pihak di balik ini,” tandasnya.
Ita mengatakan, pemerkosa tidak pernah dikenal oleh korban, dan bukan dari komunitas mereka. Pelaku perusuh diterjunkan serentak di berbagai tempat, dan setelah melihat lokasi kejadian, pemerkosaan itu dilakukan di ruko milik WNI keturunan Tionghoa yang berada di jalan besar.
Walau di perumahan biasa juga ada beberapa korban, tetapi jumlahnya sangat kecil.
Artinya, si penyerang mudah diturunkan dan diangkut kembali.
Kalau pun ada penduduk sekitar yang tertangkap, mereka bukan pelaku pemerkosaan, tapi penjarah. Bahkan, penduduk atau petugas keamanan yang mengetahui perkosaan itu tidak berani berbuat apa-apa, karena ketakutan.
“Ini menunjukkan, hal itu sudah dirancang dan sekarang masalah ini sudah tenggelam oleh masalah politik. Padahal, tindakan penghilangan hak hidup manusia, merupakan pelanggaran hak hidup manusia yang paling brutal,” tandasnya. Perkosaan, perusakan dan pembakaran terhadap WNI keturunan Tionghoa, menurut Ita, secara langsung bukan karena kesenjangan sosial.
Sebab, kesenjangan sosial sudah sejak lama dibentuk, yakni dengan menghadirkan anggapan di masyarakat; WNI keturunan Tionghoa hanya orang yang berdagang, memikirkan uang, yang tidak mau bergaul dengan orang Indonesia.
Konstruksi semacam itu diba ngun dan ditanamkan sejak zaman dulu. Konstruksi ini semakin diperkuat dengan mengeksklusifkan tempat tinggal WNI keturunan Tionghoa.
Padahal, tidak semua WNI keturunan Tionghoa kaya. Khususnya di Jakarta, dibentuk suatu tempat tinggal eksklusif Tionghoa oleh rezim yang berkuasa.
Sehingga, ketika terjadi sesuatu, komunitas inilah yang dikorbankan, sebagai kelompok yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar